Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 menyatakan, bahwa sebuah
pernikahan baru dianggap memiliki kekuatan hukum di hadapan undang-undang jika
dilaksanakan menurut aturan agama dan telah dicatat oleh pegawai pencatat
perkawinan yang ditentukan undang-undang. Jika tidak, maka pernikahannya
dianggap tidak sah dan disebut sebagai nikah sirri.
Kontroversi tentang nikah sirri
kali ini lagi-lagi terjadi. Bahkan, lebih parah lagi. Pemerintah sudah
menyiapkan RUU Hukum Material Peradilan Agama Bidang Perkawinan tentang pidana
bagi pelaku nikah sirri. RUU yang paling memicu kontroversi adalah pasal 163,
"Melakukan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat didenda paling banyak Rp. 6 juta atau kurungan paling lama 6 bulan."
"Melakukan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat didenda paling banyak Rp. 6 juta atau kurungan paling lama 6 bulan."
Sejatinya, pemidanaan nikah sirri ini bertujuan
baik, yaitu melindungi hak-hak isteri dan anak-anak di hadapan hukum serta
mempermudah urusan keadministrasian yang terkait dengan negara, seperti
pembuatan akta kelahiran. Pemerintah beranggapan, bahwa banyak sekali
kasus-kasus kekerasan dan ketidak adilan dalam rumah tangga tidak dilaporkan ke
pengadilan lantaran terhalangi oleh status nikah sirri. Oleh karena itu, untuk
menyadarkan masyarakat akan pentingnya pencatatan nikah, RUU pemidanaan nikah
sirri pun ditawarkan.
Efektifitas RUU pidana nikah sirri untuk menanggulangi
ketidakadilan dalam rumah tangga memang masih menimbulkan banyak pertanyaan.
Fakta membuktikan, bahwa banyak juga
pasutri yang melangsungkan nikah sirri, tapi enjoy-enjoy aja. Oleh
karena itu, melalui kacamata Fiqh, mari kita bedah RUU pidana nikah sirri ini.
Kira-kira, layakkah pemerintah menerapkannya? Dan bagaimana seharusnya para
pelaku nikah sirri diatur oleh pemerintah?
Pertanyaan
1.
Bagaimana pandangan fuqaha'(Para ahli
hukum islam) tentang nikah sirri yang dipersepsikan oleh pemerintah?
Jawaban:
Ulama’ berbeda pendapat mengenai apa yang
dimaksud nikah sirri. Menurut ulama
Hanafiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah, nikah sirri adalah pernikahan yang
dilaksanakan hanya oleh calon suami dan istri dan tidak dihadiri oleh kedua saksi dan wali. Menurut
pendapat ini, nikah yang telah dihadiri kedua saksi dan wali sekalipun tidak
dicatatkan tidak disebut sebagai nikah
sirri.
Menurut malikiyah terdapat
dua tafsir tentang nikah sirri, pertama: nikah sirri adalah pernikahan yang
telah dihadiri wali, dua orang saksi dan kedua mempelai. Namun mereka
bersepakat untuk menyembuyikan perkawinannya. Kedua : perkawinan yang tidak
dihadiri dua orang saksi, akan tetapi telah dihadiri wali dan mempelai. Namun antara mempelai dan wali
sepakat menyembunyikanperkawinannya.
Menurut pendapat malikiyah
ini, pernikahan yang tidak di informasikan (i’lan) sekalipun telah dihadiri dua
orang saksi dan wali disebut pernikahan sirri. Sedangkan pernikahan yang telah
dihadiri wali dan dua orang saksi dan telah di informasikan melalui walimah
sekalipun tidak dicatatkan tidak bisa
disebut sebagai nikah sirri. Sayyida umar ibnu al-khattab pernah menerima
pengaduan perkawinan yang hanya dihadiri satu orang saksi laki-laki dan
perempuan. Umar mengatakan “itu adalah perkawinan sirri, kalau saya menututinya
maka pasti akan aku rajam ia.
Dengan demikian
istilah nikah sirri yang berkembang di indonesia sesungguhnya bukan nikah sirri
yang dimaksudkan didalam kitab-kitab klasik. Nikah sirri yang berkembang di indonesia adalah
perkawinan yang tidak dicatatkan.
2.
Bolehkah pemerintah melarang
nikah sirri (nikah yang tidak dicatat)?
Jawaban:
Ketentuan yang
diperintahkan oleh negara dalamkaitannya dengan hukum syar’i, ada tiga:
a.
Ketentuan yang
secara syar’i wajib, misalnya shalat, puasa, zakat dll,
b.
Ketentuan yang
secara syar’i sunnah (mandub), misalnya puasa istisqa’ dll.
c.
Ketentuan yang
secara syar’i mubah.
Ketentuan negara wajib
ditaati, baik secara syar’i yang hukumnya wajib, sunnah atau mubah. Pencatatan
nikah termasuk ketentuan negara yang secara syar’i mubah, akan tetapi
diwajibkan oleh negara. Ketentuan negara yang mewajibkan pencatatan nikah,
sekaligus merupakan pelarangan terhadap nikah sirri. Dan ketentuan ini wajib
ditaati dengan beberapa syarat dibawah ini.
1.
Mengandung maslahah
‘ammah seperti perlindungan terhadap perempuan dan masa depan anak-anak.
2.
Dapat menolak mudharat
atau mafsadah seperti pengabaian hak-hak istri dan penerlantaran anak-anak.
3.
Tidak
mendatangkan mudharat atau mafsadah yang lebih besar, misalnya dengan
dilarang nikah sirri maka akan semakin banyak perzinahan dan kumpul kebo.
4.
Pemerintah wajib
memberi kemudahan-kemudahan dalam pencatatan AKTE NIKAH. Seperti pencatatan
akte nikah tidak membutuhkan biaya mahal dan tidak dipersulit atministrasinya.
5.
Pemerintah juga
harus tegas menindak praktek-praktek
seks bebas, perzinahan-perzinahan dan kumpul kebo.
Jika pewajiban pemerintah belum memenuhi setidaknya lima syarat
diatas maka masyarakat tidak wajib menta’atinya. Sebab pemerintah berarti telah
melakukan kedhaliman.
3.
Bolehkah negara memberikan sanksi
(ta'zir) pada suami istri yang tidak mencatatkan perkawinan?
Jawaban:
Negara boleh memberikan denda atau
hukuman fisik (ta’zir ) terhadap pihak-pihak yang tidak mencatatkan
pernikahannya. Sebab
pemerintah diberi wewenang untuk memberikan hukuman ta’zir atas perbuatan-perbuatan makshiyat yang tidak ada
sanksi had maupun qishas. Bahkan pemerintah juga diberi wewenang mentakzir atas
perbuatan yang kurang pantas sekalipun tidak ada kemakshiyatan didalamnya.
* Kajian ini merupakan keputusan bahtsul Masa'il
(Kajian Keagamaan untuk menjawab
kasus) 2009,yang diselenggarakan oleh Pon.Pes. Salafiyah Syafi'iyah
Situbondo,Jawa Timur.